Gulat di Tanah Seribu Masjid: Menyeimbangkan Ibadah dan Prestasi Olahraga
Nusa Tenggara Barat, khususnya Pulau Lombok, dikenal dunia sebagai “Pulau Seribu Masjid” karena kentalnya nuansa religius dan banyaknya bangunan ibadah yang megah di setiap sudut wilayahnya. Di tengah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual ini, tumbuh sebuah semangat baru di bidang olahraga prestasi, yakni gulat. Fenomena perkembangan Gulat di Tanah Seribu Masjid menjadi sebuah cerita inspiratif tentang bagaimana anak muda di daerah ini mampu menyelaraskan kewajiban ibadah dengan ambisi meraih prestasi di tingkat nasional. Olahraga gulat dipandang bukan hanya sebagai adu kekuatan fisik, melainkan sebagai sarana untuk mendisiplinkan diri dan memperkuat karakter islami yang sabar dan gigih.
Kehidupan para atlet gulat di Lombok sangat dipengaruhi oleh jadwal ibadah harian. Banyak pusat pelatihan gulat yang didirikan di sekitar lingkungan pesantren atau dekat dengan masjid-masjid besar. Para pengelola dan pelatih memastikan bahwa jadwal latihan tidak pernah berbenturan dengan waktu shalat berjamaah. Justru, nilai-nilai spiritual dijadikan bahan bakar mental bagi para atlet. Sebelum memulai latihan fisik yang berat, mereka sering kali berkumpul untuk berdoa atau mendengarkan ceramah singkat tentang pentingnya menjaga amanah dan kejujuran. Konsep Gulat di Tanah Seribu Masjid mengajarkan bahwa kekuatan fisik yang besar adalah titipan yang harus digunakan untuk tujuan-tujuan positif dan membanggakan daerah.
Secara teknis, para pegulat asal Nusa Tenggara Barat memiliki keunggulan pada aspek kelincahan dan ketahanan mental. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakatnya yang terbiasa bekerja keras di alam terbuka. Dalam latihan harian, teknik-teknik gulat modern diajarkan dengan sangat teliti, namun tetap memperhatikan batasan-batasan etika dan kesopanan yang berlaku di masyarakat lokal. Para atlet diajarkan untuk menghargai lawan sebagai saudara seiman, sehingga meskipun persaingan di atas matras sangat sengit, sportivitas tetap terjaga dengan sangat baik. Itulah keistimewaan Gulat di Tanah Seribu Masjid, di mana kemenangan dirayakan dengan rasa syukur yang mendalam, dan kekalahan diterima sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki diri.
Tantangan dalam memajukan olahraga gulat di wilayah ini adalah ketersediaan alat pendukung yang masih terbatas di beberapa kabupaten. Namun, semangat “Gora” atau gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat NTB menjadi solusi utama. Banyak komunitas warga yang secara swadaya memperbaiki tempat latihan bagi anak-anak muda mereka agar bisa terus berlatih dengan aman. Dukungan dari para tokoh agama juga sangat besar; mereka melihat gulat sebagai olahraga yang positif untuk menjauhkan pemuda dari pengaruh buruk narkoba atau pergaulan bebas. Dengan adanya restu dari para ulama, minat anak muda untuk menekuni Gulat di Tanah Seribu Masjid terus meningkat secara signifikan setiap tahunnya.
