Gelombang harapan sempat menerpa benak para guru honorer di berbagai penjuru negeri menyusul wacana tentang tunjangan sertifikasi tambahan. Namun, seiring berjalannya waktu tanpa realisasi yang pasti, tak sedikit yang mulai bertanya-tanya: benarkah ini semua hanya wacana belaka? Penantian panjang para pendidik non-ASN ini terhadap pengakuan dan peningkatan kesejahteraan seolah kembali diuji.
Ketidakpastian mengenai hanya wacana belaka ataukah akan ada tindakan nyata, semakin menimbulkan kecemasan di kalangan guru honorer. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Aliansi Guru Honorer Nasional (AGHN) pada tanggal 20 Mei 2025, sebanyak 78% responden merasa pesimis dengan realisasi tunjangan sertifikasi tambahan dalam waktu dekat. Mereka khawatir janji-janji manis hanya akan menjadi hanya wacana belaka tanpa pernah terwujud dalam kebijakan yang konkret.
Keresahan ini bukannya tanpa alasan. Selama bertahun-tahun, isu mengenai kesejahteraan guru honorer terus bergulir tanpa perubahan signifikan yang dirasakan secara merata. Meskipun ada program PPPK, kuotanya terbatas dan proses seleksinya tidak selalu mudah bagi semua guru honorer, terutama mereka yang telah mengabdi puluhan tahun dengan usia yang tidak lagi muda.
Menanggapi isu ini, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung, Bapak Surya Dharma, dalam sebuah diskusi publik di Soreang pada hari Selasa, 27 Mei 2025, menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki keterbatasan anggaran untuk merealisasikan tunjangan sertifikasi tambahan secara mandiri. Beliau berharap ada kebijakan yang jelas dan dukungan finansial dari pemerintah pusat agar angan-angan ini tidak sekadar menjadi hanya wacana belaka.
Sementara itu, pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Dr. Ratna Sari, dalam analisisnya yang diterbitkan pada tanggal 3 Juni 2025, menekankan bahwa kredibilitas pemerintah dipertaruhkan dalam isu ini. Jika angan-angan tunjangan sertifikasi tambahan pada akhirnya terbukti hanya wacana belaka, hal ini dapat menurunkan motivasi dan semangat kerja para guru honorer yang selama ini telah berjuang dengan dedikasi tinggi.
Para guru honorer hanya bisa berharap agar wacana tunjangan sertifikasi tambahan ini tidak berakhir menjadi hanya wacana belaka. Mereka mendambakan pengakuan nyata atas pengabdian mereka, bukan sekadar janji-janji yang tak kunjung terealisasi. Nasib mereka dan kualitas pendidikan di Indonesia sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti wacana ini dengan tindakan nyata dan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan guru honorer.